Mitos di Banten Kidul

Rabu, 12 November 2014

Di Banten Telah banyak mitos - mitos yang menyeruak dikalangan masyarakat Banten khususnya Banten Kidul.Dan mereka percaya dan terus melaksanakan tradisi yang berupa mitos di khalayak masyarakat ,Namun itu sudah menunjukan bahwa Banten tetap memegang teguh kebudayaan di samping modernisasi dalam Globalisasi. 
Ketika Kerajaan Sunda runtuh tahun 1579, kekuasaan atas daerah Banten digantikan oleh Kesultanan Banten yang bercorak Islam. Proses pergantian kekuasaan itu seiring dengan dilakukannya Islamisasi oleh Syarif Hidayatullah yang dilakukan sejak tahun 1522. Selain itu, runtuhnya Kerajaan Sunda pun telah melahirkan berbagai mitos yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Banten. Mitos-mitos itu ada yang bercerita ketika Kerajaan Sunda masih berdiri, mitos tentang penolakan para pengikut setia Raja Sunda atas kekalahan kerajaannya, mitos yang bercerita tentang proses Islamisasi itu sendiri, dan cerita-cerita mitos ketika Kesultanan Banten telah berdiri.


MITOS NYI RORO KIDUL VERSI MASYARAKAT BANTEN KIDUL

Banten Kidul yang  berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia, masyarakat Banten Kidul mengenal sebuah dongeng tentang Nyi Roro Kidul. Bagi masyarakat, cerita ini bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi Kerajaan Sunda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau kisah tentang penguasa laut selatan ini berbeda dengan cerita yang dikenal oleh masyarakat pantai selatan di luar Banten Kidul, seperti di daerah Yogyakarta. Cerita ini begitu legendaris dan sangat kuat terpatri di hati masyarakat Lebak selatan yang memang bersinggungan langsung dengan laut selatan.
Diceritakan bahwa Nyai Roro Kidul merupakan putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ibunya merupakan permaisuri kinasih dari Prabu  Siliwangi. Nyai Roro Kidul yang semula bernama Putri Kandita, memiliki paras yang sangat cantik dan kecantikannya itu melebihi kecantikan ibunya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau Putri Kandita menjadi anak kesayangan Prabu Siliwangi.
Sikap Prabu Siliwangi yang begitu menyayangi Putri Kandita  telah menumbuhkan kecemburuan dari selir dan putra-putri raja lainnya. Kecemburuan itu yang kemudian melahirkan persengkokolan di kalangan mereka untuk menyingkirkan Putri Kandita dan ibunya dari sisi raja dan lingkungan istana Pakuan Pajajaran.
Rencana tersebut dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu hitam  sehingga Putri Kandita dan ibunya terserang suatu penyakit yang tidak bisa  disembuhkan. Di sekujur tubuhnya, yang semula sangat mulus dan bersih, timbul  luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tidak sedap (anyir). Akibat penyakitnya itu, Prabu Siliwangi mengucilkan mereka meskipun masih tetap berada di lingkungan istana. Akan tetapi, atas desakan selir dan putra-putrinya, Prabu Siliwangi akhirnya mengusir mereka dari istana Pakuan Pajajaran.
Mereka berdua keluar dari istana dan berkelana ke arah selatan dari wilayah kerajaan tanpa tujuan. Selama berkelana, Putri Kandita kehilangan ibunya yang meninggal dunia di tengah-tengah perjalanan. Suatu hari, sampailah Putri Kandita di tepi sebuah aliran sungai. Tanpa ragu, ia kemudian meminum air sungai sepuas-puasnya dan rasa hangat dirasakan oleh tubuhnya. Tidak lama kemudian, ia merendamkan dirinya ke dalam air sungai itu.
Setelah merasa puas berendam di sungai itu, Putri Kandita merasakan bahwa tubuhnya kini mulai  nyaman dan segar. Rasa sakit akibat penyakit boroknya itu tidak terlalu menyiksa dirinya. Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya dengan mengikuti aliran sungai itu ke arah hulu. Setelah lama berjalan mengikuti aliran sungai itu, ia menemukan beberapa mata air yang menyembur sangat deras sehingga semburan mata air itu melebihi tinggi tubuhnya. Putri Kandita menetap di dekat sumber air panas itu. Dalam kesendiriannya, ia kemudian melatih olah kanuragan.
Selama itu pula, Putri Kandita menyempatkan mandi dan berendam di sungai itu. Tanpa disadarinya, secara berangsur-angsur penyakit yang menghinggapi tubuhnya menjadi hilang. Setelah sembuh, Putri Kandita meneruskan pengembaraan dengan mengikuti aliran sungai ke arah hilir dan ia sangat terpesona ketika tiba di muara sungai dan melihat laut. Oleh karena itu, Putri Kandita memutuskan untuk menetap di tepi laut wilayah selatan wilayah Pakuan Pajajaran.
Selama menetap di sana, Putri Kandita dikenal luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai wanita cantik dan sakti. Mendengar hal itu, banyak pangeran muda dari berbagai kerajaan ingin mempersunting dirinya. Menghadapi para pelamar itu, Putri Kandita mengatakan bahwa ia bersedia dipersunting oleh para pangeran itu asalkan harus sanggup mengalahkan kesaktiannya termasuk bertempur di atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Sebaliknya, kalau tidak berhasil memenangkan adu kesaktian itu, mereka harus menjadi pengiringnya.
Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri Kandita, tidak ada seorang pangeran pun yang mampu mengalahkan kesaktiannya dan tidak ada juga yang mampu bertarung di atas gelombang laut selatan. Oleh karena itu, seluruh pangeran yang datang ke laut selatan tidak ada yang menjadi suaminya, melainkan semuanya menjadi pengiring Sang Putri. Kesaktiannya mengalahkan para pangeran itu dan kemampuannya menguasai ombak laut selatan menyebabkan ia mendapat gelar Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di Selatan.
Cerita ini memang tidak bersangkutan dengan Kesultanan Banten yang berdiri menggantikan Kerajaan Sunda di wilayah Banten Selatan. Akan tetapi, cerita ini sangat penting dikemukakan sebagai salah satu wujud mentifact masyarakat Banten Selatan tentang keberadaan Nyai Roro Kidul, Prabu Siliwangi, dan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Artinya, Kerajaan Laut Kidul yang dikenal dalam pikiran masyarakat Banten selatan itu memiliki hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena penguasanya merupakan anak dari Prabu Siliwangi, raja legendaris Kerajaan Pakuan Pajajaran.
————————————–
MITOS KAMPUNG KECIREBONAN

Cerita mitos, yang diduga paling tua pada masa awal Islamisasi daerah Banten, adalah terkait dengan cerita asal usul sebuah kampung yang bernama Kecirebonan. Kampung ini didirikan oleh Kibuyut ‘Afil atas perintah Syarif Hidayatullah, yang kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Untuk melaksanakan perintah tersebut, Kibuyut ‘Afil pergi dari Cirebon ke Banten atas bimbingan gaib Sinuhun Panembahan Maulana Syarif Hidayatullah gelar Sunan Gunung Jati. Setibanya di Banten, Kibuyut ‘Afil mulai mencari sebuah tempat untuk dijadikan tempat tinggal Syarif Hidayatullah.
Sementara itu, dari Cirebon Syarif Hidayatullah melemparkan sebuah tongkat ke arah Banten. Lemparan itu dilakukan oleh Syarif Hidayatullah seiring dengan keberangkatan Kibuyut ‘Afil ke Banten. Tongkat itu jatuh di sebuah tempat yang sekarang bernama Kecirebonan dan di tempat itulah Kibuyut ‘Afil mendirikan tempat tinggal untuk Syarif Hidayatullah.
Ketika Syarif Hidayatullah tiba di Banten untuk mengislamkan daerah ini, ia tinggal di kampung yang yang telah didirikan oleh Kibuyut ‘Afil. Setelah memandang anaknya, Maulana Hasanudin, cukup ilmu untuk menyebarkan agama Islam, Syarif Hidayatullah meninggalkan Banten dan kembali Cirebon. Sementara itu, kampung sebagai tempat tinggal Syarif Hidayatullah terus dijaga oleh Kibuyut ‘Afil sampai ia meninggal dunia.
Oleh karena itu, sampai sekarang kampung itu dinamai kampung Kacirebonan.
————————————–
MITOS PRABU PUCUK UMUN

Berkaitan dengan kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin terdapat sebuah mitos yang diceritakan secara lisan dari satu generasi ke generasi lain. Cerita itu oleh masyarakat Lebak dikenal dengan nama tubuy yang merupakan cerita pantun yang dituturkan secara lisan. Isi cerita ini mengacu kepada nama tempat yang sangat dikeramatkan di Banten Selatan dan dipergunakan untuk memperingati peristiwa kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin. Menurut cerita ini, Prabu Pucuk Umun merupakan wakil Raja Sunda untuk daerah Banten dan leluhur para puun suku Baduy.
Dikisahkan dalam cerita tubuy, Maulana Hasanudin merupakan putra sulung Sunan Gunung Jati yang datang ke Banten untuk mengislamkan wilayah barat Kerajaan Sunda. Dalam melaksanakan tugasnya itu, Maulana Hasanudin disertai oleh dua orang pembantunya yang bernama Agus Jo dan Mas Lei. Upaya mengislamkan Prabu Pucuk Umun tidak dapat dilakukan oleh Maulana Hasanudin secara langsung melainkan harus melalui pertarungan di antara keduanya.
Adu kesaktian ini dilakukan karena Prabu Pucuk Umun hanya bersedia memeluk Islam kalau kesaktiannya dikalahkan oleh kesaktian Molana Hasanudin. Jenis pertandingan yang disepakati oleh kedua orang yang sama-sama sakti ini adalah mengadu ayam. Ayam Pucuk Umun diciptakan dari besi baja, berpamor air raksa, berinti besi berani, dan diberi nama Jalak Rarawe. Sedangkan ayam Molana Hasanudin merupakan penjelmaan jin. Ayam putih ini berasal dari serbannya yang dihentakkan sekali dan diberi nama Jalak Putih.
Kedua jenis ayam ini mencerminkan sifat masing-masing pemiliknya. Jalak Rarawe merupakan ayam yang terlihat sangat garang sebagai cerminan bahwa Prabu Pucuk Umun memiliki sifat dendam kesumat. Sementara itu, Jalak Putih kelihatan tenang dan sabar yang mencerminkan keluhuran budi pekerti yang dimiliki oleh Molana Hasanudin. Dalam pertandingan itu, Jalak Rarewe dapat dikalahkan oleh alak Putih dan bertepatan dengan kekalahan itu, si Jalak Putih kembali kepada wujud aslinya. Melihat kejadian itu, Prabu Pucuk Umun sangat kaget dan berseru “Ketahuilah Hasanudin bahwa kekalahanku kali ini hanya merupakan sebagian terkecil dari seluruh kesaktianku dan aku belum menyerah kalah, apabila kau sanggup susullah aku”.
Dengan kekalahan itu, seharusnya Prabu Pucuk Umun takluk kepada Maulana Hasanudin dan memeluk Islam. Akan tetapi, perjanjian dengan Molana Hasanudin dilanggar oleh Pucuk Umun. Ia tidak mau memeluk agama Islam dan memilih untuk memusnahkan dirinya dengan berubah menjadi burung beo.
Burung beo jelmaan Pucuk Umun itu kemudian terbang meninggalkan Maulana Hasanudin agar ia tidak ditangkap oleh Maulana Hasanudin. Ketika sedang terbang mengembara, Pucuk Umum melihat hamparan pasir sehingga merasa tertarik untuk turun kembali ke bumi. Ketika telah mendarat di bumi, burung beo itu menjelma kembali menjadi Prabu Pucuk Umun.
Setelah dirinya menjadi manusia lagi, Pucuk Umun menemukan sisa-sisa rakyatnya yang tidak mau masuk Islam dan mendirikan perkampungan baru di daerah Banten Selatan, tepatnya di daerah Lebak. Berdasarkan cerita ini, sebagian masyarakat Lebak menamakan tempat Pucuk Umun menjadi burung beo sebagai Cibeo, tempat burung beo melihat  hamparan pasir dan berubah kembali menjadi Pucuk Umun sebagai Cikeusik, dan tempat Pucuk Umun mendirikan perkampungan baru dinamai sebagai Cikartawana.
Mitos tentang kekalahan Pucuk Umun ketika beradu kesaktian dengan Maulana Hasanudin memang tidak ditemukan di setiap tradisi lisan atau cerita rakyat. Dalam suntingan Sajarah Banten yang lain, diceritakan bahwa Pucuk Umun itu tidak pernah bertanding untuk mengadu keasktian dengan Maulana Hasanudin. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Pucuk Umum telah memperkirakan bahwa dirinya sebagai penguasa Pakuan Pajajaran yang berkuasa di Banten Girang akan digantikan oleh Maulana Hasanudin. Oleh karena itu, ia kemudian memusnahkan dirinya karena tidak mau tunduk kepada Maulana Hasanudin, seperti yang dinyatakan dalam Sadjarah Banten.
Pucuk Umun lalu tahu
Jika (ia) akan kedatangan
(orang) yang diperintahkan untuk menggantikan,
terbayang dalam pengamatannya
tidak dapat (tidak) kelak
(ialah orangnya yang akan menjadi) Raja Pakuan
(menggantikan) yang namanya Prabu Seda
maka hilang, musnahlah ia
patutlah diketahui, (bahwa) ia itu,
Prabu Seda itu,
adalah anak Hyang
Prabu Seda Pakuan,
yaitu anak dari
Prabu Mundhing Kawatgita
Ada juga yang meneritakan bahwa ketika ayam Pucuk Umun kalah oleh ayam Maulana Hasanudin, Pucuk Umun menguji kesaktian Maulana Hasanudin dengan cara bersembunyi dan meminta Molana Hasanudin untuk menemukan tempat persembunyiannya itu. Tantangan itu diterima oleh Molana Hasanudin dan segera memerintahkan kedua jin santrinya untuk mengejar dan menangkap Pucuk Umun. Setelah mengejarnya, kedua jin santri Molana Hasanudin berkata kepada majikannya “Maaf Tuan, Pucuk Umun menghilang”. Kemudian berkata Molana Hasanudin, “Yah sudahlah santri jin, barangkali sudah kehendak Tuhan Yang Agung, mungkin sudah kehendak-Nya kalau Pucuk Umun menjadi iblis atau kafir siluman selama-lamanya”. Dalam salah satu cerita rakyat, Pucuk Umun menghilang di Tubuy dan masuk ke dalam bumi sampai tidak pernah kelihatan lagi.
lalu Pucukumun terbang dari
jungkulan langsung
ke Tubuy, lalu musnah Pucukumun
hilang di Tubuy
lalu tidak keluar lagi,
lalu Pucukumun masuk ke dalam bumi
hilang tak kehilatan
Suntingan Sajarah Banten lainnya yang digubah dalam bentuk prosa menceritakan bahwa Pucuk Umun telah mengetahui maksud kedatangan Molana Hasanudin yaitu untuk mengislamkan daerah Banten dan menggantikan kedudukan dirinya sebagai Raja Pakuan yang berkuasa atas wilayah Banten Girang. Oleh karena itu, sebelum Molana Hasanudin menginjakkan kakinya di tanah Banten, ia memusnahkan dirinya karena tidak mau memeluk Islam dan menjadi bawahan Molana Hasanudin.
Selain itu, diceritakan pula bahwa adu ayam yang dilakukan oleh Molana Hasanudin bukan untuk mengalahkan Pucuk Umun, tetapi untuk memancing agar penduduk dari daerah lain lebih banyak lagi yang datang ke Banten.
Berkata Molana: Hai sekalian ajar, mari kita sepakat, semua mencari
tempat untuk bermain mengadu ayam, tempat yang baik untuk kita.
Maka berkata semua ajar: Baik. Maka semua ajar mencari tempat,
menemukan tempat di Weringin Lancar. Berkata ajar: Nah, ini tempat
yang baik. Maka dibersihkanlah tempat itu sehingga terang, maka
pulanglah ajar, memberitahukan kepada lurahnya, Pucuk Umun. Maka
berkata Molana: Apakah ada yang mempunyai ayam? Berkata semua
ajar: Ada, hamba punya. Nah, mari kita bermain. Maka mereka semua
main di Lancar, maka lama kelamaan tersebar berita tentang
keramaian mengadu ayam, mereka berjudi, maka orang-orang dari
daerah pinggiran, datang dan ikut mengadu ayam.
————————————–
MITOS PANGERAN ARYADILLAH
Selain mitos yang terkait dengan masa transisi dari kekuasaan Hindu ke Islam, terdapat juga mitos yang hidup di sebagian masyarakat Banten ketika di daerah ini sudah berdiri Kesultanan Banten. Ada mitos yang menceritakan tentang faktor yang mendorong majunya Kesultanan Banten, mitos yang bercerita kesaktian kerabat sultan, dan cerita yang ditujukan untuk menutup-nutupi perilaku penguasa Banten.
Masyarakat di daerah Banten mengenal sebuah cerita rakyat yang mengisahkan seorang tokoh bernama Pangeran Aryadillah. Dalam kehidupan nyata masyarakat Banten, keberadaan tokoh ini didukung oleh adanya dua makam di lokasi berbeda yang diyakini sebagai makam Pangeran Aryadillah. Makam pertama terletak di Banten dan yang satu lagi terdapat di Palembang.
Lebih dari sekedar itu, sampai saat ini pun meninggalnya Pangeran Aryadillah melahirkan silang pendapat. Sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa Sang Pangeran  memang sudah meninggal, tetapi sebagian masyarakat yang lain menganggap bahwa Pangeran Aryadillah belum meninggal melainkan ngahyang ke alam gaib.
Menurut cerita ini, Pangeran Aryadillah merupakan putra seorang raja di Banten. Akan tetapi, ia sendiri tidak tahu siapa ayahnya itu. Ia kemudian bercerita kepada Hasnudin. Setelah mendengar penuturan Pangeran Aryadillah, Hasnudin meminta dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya memang anak seorang raja Banten. Hasnudin menyuruh Aryadillah untuk merontok seluruh daun beringin dari pohonnya tanpa tersisa sehelai pun. Aryadillah menyanggupi permintaan Hasnudin kemudian bertapa di bawah pohon beringin yang akan dirontokkan seluruh daunnya itu. Dalam pertapaannya itu, ia meminta bantuan kepada ibu dan  kakeknya agar kesaktiannya bisa merontokkan seluruh daun pohon beringin itu.
Tidak lama kemudian, dengan kesaktian yang dimilikinya, pohon beringin itu ditiup oleh dirinya hingga seluruh daunnya rontok. Tidak ada daun yang rusak atau tertinggal di pohonnya walaupun hanya selembar. Setelah berhasil menjawab tantangan Hasnudin, Aryadillah akhirnya diakui sebagai anak raja Banten dan namanya menjadi Pangeran Aryadillah.
Setelah dirinya diakui sebagai anak raja Banten, Pangeran Aryadillah diberi tugas oleh ayahnya untuk mengusir semua dedemit yang ada di sekitar keraton. Setelah itu, ia pun pergi ke perairan Teluk Banten untuk melakukan tugas yang sama sehingga petilasannya sampai sekarang dikenal dengan sebutan Karang Hantu. Selain  berhasil menaklukkan para dedemit, Pangeran Aryadillah pun berjasa dalam menaklukkan Prabu Pucuk Umun di Banten Girang dan  bersama-sama dengan Maulana Yusuf berhasil menghancurkan pusat kekuasaan Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran.
Ketika Maulana Muhammad Nasrudin menjadi penguasa Banten, kesaktiannya diperlukan oleh sultan yang berencana hendak menyerang Palembang. Atas perintah Maulana Muhammad, ia berangkat ke Palembang untuk menaklukkan negeri tersebut. Akan tetapi, di tempat inilah pasukan yang dipimpinnya mengalami kekalahan hingga dirinya gugur. Oleh karena kesaktian yang dimiliki oleh dirinya, sebenarnya Sang Pangeran tidaklah gugur melainkan menghilang dan masuk ke alam gaib. Sampai sekarang, tempat yang diyakini sebagai makam Sang Pangeran oleh sebagian masyarakat Banten selalu diziarahi untuk mendapatkan berkahnya.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam tradisi masyarakat Banten, peranan Sunan Gunung Jati dalam proses berdirinya Kesultanan Banten kurang begitu menonjol. Hal ini bisa dilihat dari suatu kenyataan bahwa masyarakat Banten selalu merujuk kepada Maulana Hasanudin sebagai pendiri Kesultanan Banten. Hal yang sebaliknya terjadi di Cirebon bahwa baik Kesultanan Banten maupun Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa di Cirebon hubungan antara kedua kesultanan ini begitu harmonis. Akan tetapi, ketika Sunan Gunung Jati telah meninggal dunia, hubungan tersebut menjadi kurang begitu harmonis. Selain itu, Kesultanan Banten justru semakin berkembang dan menjelma menjadi sebuah pusat kekuasaan Islam di Pulau Jawa bagian barat.
Sementara Kesultanan Cirebon secara perlahan-lahan mengalami kemunduran karena tidak mampu menghadapi kekuatan-kekuatan kerajaan yang ada di sekitarnya, yakni Banten dan VOC di sebelah barat, serta Mataram di sebelah timur. Nah, kondisi inilah yang melahirkan sebuah cerita yang kemudian dijadikan landasan pembenaran bahwa majunya Banten karena memang simbol kekuasaan Cirebon telah berpindah ke Banten.
————————————–
MITOS PINDAHNYA SIMBOL KEKUASAAN CIREBON KE BANTEN

Cerita tentang pindahnya simbol kekuasaan Cirebon ke Banten diawali oleh keputusan para wali untuk menghukum mati Syeh Lemah Abang karena memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan para wali lainnya. Paham yang dimiliki oleh Syeh Lemah Abang itu sangat berbahaya kalau diajarkan kepada kaum muslimin yang awam. Dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus menusuk tubuh Syeh Lemah Abang sampai meninggal dunia.
Seketika, tubuhnya menghilang dan seiring dengan itu keluarlah suara gaib yang meramalkan masa depan Cirebon. Suara gaib itu berkata, “Bahwa Cirebon akan menjadi negara merdeka sampai anak-cucu, tetapi nanti jika telah datang kerbau putih, anak-cucu harus tahu sendiri”. Sunan Gunung Jati pun membenarkan ramalan suara gaib itu dan hal itu akan terjadi pada generasi kesembilan keturunannya.
Selanjutnya diceritakan dalam Babad Cirebon, terjadilah perkawinan antara Ratu Ayu dan Ratu Bagus Faseh. Ratu Ayu merupakan anak Sunan Gunung Jati sekaligus bekas istri Sultan Demak. Pernikahan itu melahirkan seorang putri yang bernama Ratu Nawati Rarasa yang kemudian dinikahi oleh Pangeran Dipati Pakungja, anak Pangeran Pasarean. Mereka kemudian memiliki putra yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Ratu. Setelah Sunan Gunung Jati meninggal dunia, kekuasaan atas Cirebon diserahkan kepada Panembahan Ratu.
Pada masa itu, Mesjid Agung Cirebon terbakar dan bagian atas masjid itu (momolo) meloncat menuju Banten. Sejak saat itu berdirilah Kesultanan Banten yang mengalami perkembangan begitu pesat. Sebaliknya dengan Cirebon, sejak peristiwa itu mengalami kemunduran yang ditandai dengan takluknya Panembahan Ratu atas Sultan Mataram. Selain takluk kepada Sultan Mataram, ia pun kemudian menjadi bayangan penguasa Banten.
Sejak saat itulah, di daerah paling barat Pulau Jawa berdiri Kesultanan Banten yang mengalami kemajuan pesat dan kekuasaannya meliputi sebagian Pulau Sumatera. Kejayaan Kesultanan Banten tidak bisa dikalahkan baik oleh VOC maupun oleh Mataram. Hanya karena terjadi konflik intern, kedaulatan Kesultanan Banten sedikit demi sedikit berkurang. Terkait dengan hal ini, sebagian masyarakat Banten mengenal adanya cerita yang kalau diperhatikan cenderung bersifat mitos karena kebenarannya sulit dibuktikan secara historis.
Ketika Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, kesultanan ini mencapai masa kejayaannya. Selain itu, ia pun menghadapi dua musuh sekaligus yaitu VOC dan anaknya sendiri yang dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Sultan Haji menjadi musuh ayahnya karena terhasut oleh VOC. Permusuhan itu lambat laun menjadi konflik terbuka sehingga terjadilah peperangan terbuka antara bapak dan anaknya. Peristiwa ini sungguh sangat memalukan masyarakat Banten yang dikenal sebagai masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Untuk menutupi peristiwa tersebut diciptakanlah cerita yang isinya menolak penentangan Sultan Haji kepada ayahnya.
Dalam Wawacan Haji Mangsur, dikatakan bahwa sewaktu masih kecil, Pangeran Abunasr Abdulkahar (Sultan Haji) merupakan seorang anak yang halus budi pekertinya dan amat berbakti kepada orang tua. Ketika usianya sudah cukup dewasa, ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat ke Mekkah, ia dinasihati oleh ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa) untuk segera pulang ke Banten begitu selesai menunaikan ibadah haji.
Ayahnya meminta kepada anaknya agar sepulangnya dari Mekkah tidak singgah kemana-mana dahulu. Akan tetapi, Pangeran Abunasr Abdulkahar ini lupa akan nasihat ayahnya karena setelah menunaikan ibadah haji, ia tidak langsung pulang ke Banten melainkan terlebih dahulu singgah di Negeri Cina dan menikahi seorang wanita Tionghoa yang sangat cantik. Ketika Pangeran Abunasr Abdulkahar masih tinggal di Negeri Cina, ada seorang laki-laki yang mirip dengan dirinya. Laki-laki itu adalah kakak perempuan yang dinikahi oleh Pangeran Abunasr Abdulkahar.
Laki-laki yang mirip Pangeran Abunasr Abdulkahar ini kemudian meninggalkan negerinya menuju Banten, negeri suami adiknya. Setelah mendarat di Banten, ia kemudian mengakukan diri sebagai Pangeran Abunasr Abdulkahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa. Meskipun penuh dengan ketidakpercayaan, Sultan dan rakyat Banten menerima kedatangan Pangeran Abunasr Abdulkahar dan memperlakukannya  sebagaimana lazimnya terhadap putra mahkota. Setelah dirinya berada di keraton, VOC mulai melaksanakan rencananya untuk mengadudombakan mereka. Oleh karena itu, terjadilah konflik terbuka antara ayah dan “anaknya” itu.
Selain itu, terdapat pula cerita mitos tentang Sultan Haji yang agak berbeda dengan cerita sebelumnya. Ketika akan menunaikan ibadah haji yang keduakalinya, Sultan Haji singgah dahulu di Pulau Putri. Di pulau ini, ia jatuh cinta kepada seorang putri cantik dan berkeinginan untuk menikahinya. Sang putri mau dinikahi oleh Sultan Haji asalkan seluruh pakaian dan perhiasannya mesti dijadikan mahar pernikahan mereka.
Sultan Haji menyanggupi permintaan Sang Putri dan menyerahkan seluruh pakaian dan perhiasannya kepada Sang Putri. Oleh Sang Putri, mahar pernikahannya itu diberikan kepada kakaknya yang kebetulan berwajah mirip dengan Sultan Haji. Setelah mengenakan pakaian dan seluruh perhiasan Sultan Haji, kakak Sang Putri kemudian berlayar ke Batavia dan mengaku diri sebagai Pangeran Abunasr Abdulkahar (Sultan Haji). Rakyat Banten mengakuinya, karena memang wajahnya amat mirip dengan Sultan Haji asli.
Apalagi dengan mengenakan pakaian dan perhiasan Sultan Haji, sempurnalah ia sebagai Sultan Haji palsu. Dialah yang kemudian berperang melawan Sultan Ageng Tirtayasa dan memerintah Banten. Selang beberapa tahun, Sultan Haji asli pulang ke Banten dan melihat keadaan Banten yang sudah berubah. Untuk menjaga jangan sampai terjadi keributan di negerinya, ia kemudian pergi ke Cimanuk, Cikadueun, Pandeglang. Di sana ia aktif menyebarkan agama Islam  hingga meninggal dunia. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun.
Cerita rakyat yang telah disajikan itu merupakan mitos yang terkait dengan masa perpindahan kekuasaan dari Kerajaan Sunda kepada Kesultanan Banten dan mitos yang bertalian dengan keberadaan Kesultanan Banten. Cerita itu dikategorikan sebagai mitos karena memang sangat sulit untuk dibuktikan secara historis. Musnahnya Pucuk Umun yang kemudian menjelma menjadi burung beo, kemudian ayam Pucuk Umun yang terbuat dari pasir besi dan ayam Maulana Hasanudin yang merupakan jelmaan jin merupakan cerita yang sulit untuk diterima oleh akal sehat.
Demikian juga dengan penentuan tempat tinggal Sunan Gunung Jati yang dilakukannya dengan melemparkan tongkat dari Cirebon dan cerita mengenai kesaktian serta terdapat dua orang Sultan Haji, merupakan cerita yang sangat sulit dibuktikan secara historis. Cerita-cerita mitos itu kemudian hidup di tengah-tengah masyarakat dan kemudian dipandang sebagai bagian dari cerita masa lalu masyarakat Banten.

Sumber : http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/20/mitos-mitos-yang-beredar-di-masyarakat-di-banten-kidul/

0 komentar:

Posting Komentar