Di Banten Telah banyak mitos - mitos yang menyeruak dikalangan masyarakat Banten khususnya Banten Kidul.Dan mereka percaya dan terus melaksanakan tradisi yang berupa mitos di khalayak masyarakat ,Namun itu sudah menunjukan bahwa Banten tetap memegang teguh kebudayaan di samping modernisasi dalam Globalisasi.
Ketika Kerajaan Sunda runtuh
tahun 1579, kekuasaan atas daerah Banten digantikan oleh Kesultanan
Banten yang bercorak Islam. Proses pergantian kekuasaan itu seiring
dengan dilakukannya Islamisasi oleh Syarif Hidayatullah yang dilakukan
sejak tahun 1522. Selain itu, runtuhnya Kerajaan Sunda pun telah
melahirkan berbagai mitos yang berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Banten. Mitos-mitos itu ada yang bercerita ketika Kerajaan
Sunda masih berdiri, mitos tentang penolakan para pengikut setia Raja
Sunda atas kekalahan kerajaannya, mitos yang bercerita tentang proses
Islamisasi itu sendiri, dan cerita-cerita mitos ketika Kesultanan Banten
telah berdiri.
MITOS NYI RORO KIDUL VERSI MASYARAKAT BANTEN KIDUL
Banten Kidul yang berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia,
masyarakat Banten Kidul mengenal sebuah dongeng tentang Nyi Roro Kidul.
Bagi masyarakat, cerita ini bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
eksistensi Kerajaan Sunda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau
kisah tentang penguasa laut selatan ini berbeda
dengan cerita yang dikenal oleh masyarakat pantai selatan di luar
Banten Kidul, seperti di daerah Yogyakarta. Cerita ini begitu legendaris
dan sangat kuat terpatri di hati masyarakat Lebak selatan yang memang
bersinggungan langsung dengan laut selatan.
Diceritakan bahwa Nyai Roro Kidul merupakan putri Prabu Siliwangi
dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ibunya merupakan permaisuri kinasih dari
Prabu Siliwangi. Nyai Roro Kidul yang semula bernama Putri Kandita,
memiliki paras yang sangat cantik dan kecantikannya itu melebihi
kecantikan ibunya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau Putri
Kandita menjadi anak kesayangan Prabu Siliwangi.
Sikap Prabu Siliwangi yang begitu menyayangi Putri Kandita telah
menumbuhkan kecemburuan dari selir dan putra-putri raja lainnya.
Kecemburuan itu yang kemudian melahirkan persengkokolan di kalangan
mereka untuk menyingkirkan Putri Kandita dan ibunya dari sisi raja dan
lingkungan istana Pakuan Pajajaran.
Rencana tersebut dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu hitam
sehingga Putri Kandita dan ibunya terserang suatu penyakit yang tidak
bisa disembuhkan. Di sekujur tubuhnya, yang semula sangat mulus dan
bersih, timbul luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tidak sedap
(anyir). Akibat penyakitnya itu, Prabu Siliwangi mengucilkan mereka
meskipun masih tetap berada di lingkungan istana. Akan tetapi, atas
desakan selir dan putra-putrinya, Prabu Siliwangi akhirnya mengusir
mereka dari istana Pakuan Pajajaran.
Mereka berdua keluar dari istana dan berkelana ke arah selatan dari
wilayah kerajaan tanpa tujuan. Selama berkelana, Putri Kandita
kehilangan ibunya yang meninggal dunia di tengah-tengah perjalanan.
Suatu hari, sampailah Putri Kandita di tepi sebuah aliran sungai. Tanpa
ragu, ia kemudian meminum air sungai sepuas-puasnya dan rasa hangat
dirasakan oleh tubuhnya. Tidak lama kemudian, ia merendamkan dirinya ke
dalam air sungai itu.
Setelah merasa puas berendam di sungai itu, Putri Kandita merasakan
bahwa tubuhnya kini mulai nyaman dan segar. Rasa sakit akibat penyakit
boroknya itu tidak terlalu menyiksa dirinya. Kemudian ia melanjutkan
pengembaraannya dengan mengikuti aliran sungai itu ke arah hulu. Setelah
lama berjalan mengikuti aliran sungai itu, ia menemukan beberapa mata
air yang menyembur sangat deras sehingga semburan mata air itu melebihi
tinggi tubuhnya. Putri Kandita menetap di dekat sumber air panas itu.
Dalam kesendiriannya, ia kemudian melatih olah kanuragan.
Selama itu pula, Putri Kandita menyempatkan mandi dan berendam di
sungai itu. Tanpa disadarinya, secara berangsur-angsur penyakit yang
menghinggapi tubuhnya menjadi hilang. Setelah sembuh, Putri Kandita
meneruskan pengembaraan dengan mengikuti aliran sungai ke arah hilir dan
ia sangat terpesona ketika tiba di muara sungai dan melihat laut. Oleh
karena itu, Putri Kandita memutuskan untuk menetap di tepi laut wilayah
selatan wilayah Pakuan Pajajaran.
Selama menetap di sana, Putri Kandita dikenal luas ke berbagai
kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai wanita cantik dan sakti.
Mendengar hal itu, banyak pangeran muda dari berbagai kerajaan ingin
mempersunting dirinya. Menghadapi para pelamar itu, Putri Kandita
mengatakan bahwa ia bersedia dipersunting oleh para pangeran itu asalkan
harus sanggup mengalahkan kesaktiannya termasuk bertempur di atas
gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Sebaliknya, kalau tidak
berhasil memenangkan adu kesaktian itu, mereka harus menjadi
pengiringnya.
Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri
Kandita, tidak ada seorang pangeran pun yang mampu mengalahkan
kesaktiannya dan tidak ada juga yang mampu bertarung di atas gelombang
laut selatan. Oleh karena itu, seluruh pangeran yang datang ke laut
selatan tidak ada yang menjadi suaminya, melainkan semuanya menjadi
pengiring Sang Putri. Kesaktiannya mengalahkan para pangeran itu dan
kemampuannya menguasai ombak laut selatan menyebabkan ia mendapat gelar
Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di Selatan.
Cerita ini memang tidak bersangkutan dengan Kesultanan Banten yang
berdiri menggantikan Kerajaan Sunda di wilayah Banten Selatan. Akan
tetapi, cerita ini sangat penting dikemukakan sebagai salah satu wujud
mentifact masyarakat Banten Selatan tentang keberadaan Nyai Roro Kidul,
Prabu Siliwangi, dan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Artinya, Kerajaan Laut
Kidul yang dikenal dalam pikiran masyarakat Banten selatan itu memiliki
hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena
penguasanya merupakan anak dari Prabu Siliwangi, raja legendaris
Kerajaan Pakuan Pajajaran.
————————————–
MITOS KAMPUNG KECIREBONAN
Cerita mitos, yang diduga paling tua pada masa awal Islamisasi daerah
Banten, adalah terkait dengan cerita asal usul sebuah kampung yang
bernama Kecirebonan. Kampung ini didirikan oleh Kibuyut ‘Afil atas
perintah Syarif Hidayatullah, yang kelak dikenal dengan nama Sunan
Gunung Jati.
Untuk melaksanakan perintah tersebut, Kibuyut ‘Afil pergi dari
Cirebon ke Banten atas bimbingan gaib Sinuhun Panembahan Maulana Syarif
Hidayatullah gelar Sunan Gunung Jati. Setibanya di Banten, Kibuyut ‘Afil
mulai mencari sebuah tempat untuk dijadikan tempat tinggal Syarif
Hidayatullah.
Sementara itu, dari Cirebon Syarif Hidayatullah melemparkan sebuah
tongkat ke arah Banten. Lemparan itu dilakukan oleh Syarif Hidayatullah
seiring dengan keberangkatan Kibuyut ‘Afil ke Banten. Tongkat itu jatuh
di sebuah tempat yang sekarang bernama Kecirebonan dan di tempat itulah
Kibuyut ‘Afil mendirikan tempat tinggal untuk Syarif Hidayatullah.
Ketika Syarif Hidayatullah tiba di Banten untuk mengislamkan daerah
ini, ia tinggal di kampung yang yang telah didirikan oleh Kibuyut ‘Afil.
Setelah memandang anaknya, Maulana Hasanudin, cukup ilmu untuk
menyebarkan agama Islam, Syarif Hidayatullah meninggalkan Banten dan
kembali Cirebon. Sementara itu, kampung sebagai tempat tinggal Syarif
Hidayatullah terus dijaga oleh Kibuyut ‘Afil sampai ia meninggal dunia.
Oleh karena itu, sampai sekarang kampung itu dinamai kampung Kacirebonan.
————————————–
MITOS PRABU PUCUK UMUN
Berkaitan dengan kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin
terdapat sebuah mitos yang diceritakan secara lisan dari satu generasi
ke generasi lain. Cerita itu oleh masyarakat Lebak dikenal dengan nama
tubuy yang merupakan cerita pantun yang dituturkan secara lisan. Isi
cerita ini mengacu kepada nama tempat yang sangat dikeramatkan di Banten
Selatan dan dipergunakan untuk memperingati peristiwa kekalahan Prabu
Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin. Menurut cerita ini, Prabu Pucuk Umun
merupakan wakil Raja Sunda untuk daerah Banten dan leluhur para puun
suku Baduy.
Dikisahkan dalam cerita tubuy, Maulana Hasanudin merupakan putra
sulung Sunan Gunung Jati yang datang ke Banten untuk mengislamkan
wilayah barat Kerajaan Sunda. Dalam melaksanakan tugasnya itu, Maulana
Hasanudin disertai oleh dua orang pembantunya yang bernama Agus Jo dan
Mas Lei. Upaya mengislamkan Prabu Pucuk Umun tidak dapat dilakukan oleh
Maulana Hasanudin secara langsung melainkan harus melalui pertarungan di
antara keduanya.
Adu kesaktian ini dilakukan karena Prabu Pucuk Umun hanya bersedia
memeluk Islam kalau kesaktiannya dikalahkan oleh kesaktian Molana
Hasanudin. Jenis pertandingan yang disepakati oleh kedua orang yang
sama-sama sakti ini adalah mengadu ayam. Ayam Pucuk Umun diciptakan dari
besi baja, berpamor air raksa, berinti besi berani, dan diberi nama Jalak Rarawe.
Sedangkan ayam Molana Hasanudin merupakan penjelmaan jin. Ayam putih
ini berasal dari serbannya yang dihentakkan sekali dan diberi nama Jalak Putih.
Kedua jenis ayam ini mencerminkan sifat masing-masing pemiliknya. Jalak Rarawe
merupakan ayam yang terlihat sangat garang sebagai cerminan bahwa Prabu
Pucuk Umun memiliki sifat dendam kesumat. Sementara itu, Jalak Putih kelihatan
tenang dan sabar yang mencerminkan keluhuran budi pekerti yang dimiliki
oleh Molana Hasanudin. Dalam pertandingan itu, Jalak Rarewe dapat dikalahkan oleh alak Putih dan bertepatan dengan kekalahan itu, si Jalak Putih kembali kepada wujud aslinya. Melihat kejadian itu, Prabu Pucuk Umun sangat kaget dan berseru “Ketahuilah
Hasanudin bahwa kekalahanku kali ini hanya merupakan sebagian terkecil
dari seluruh kesaktianku dan aku belum menyerah kalah, apabila kau
sanggup susullah aku”.
Dengan kekalahan itu, seharusnya Prabu Pucuk Umun takluk kepada
Maulana Hasanudin dan memeluk Islam. Akan tetapi, perjanjian dengan
Molana Hasanudin dilanggar oleh Pucuk Umun. Ia tidak mau memeluk agama
Islam dan memilih untuk memusnahkan dirinya dengan berubah menjadi
burung beo.
Burung beo jelmaan Pucuk Umun itu kemudian terbang meninggalkan
Maulana Hasanudin agar ia tidak ditangkap oleh Maulana Hasanudin. Ketika
sedang terbang mengembara, Pucuk Umum melihat hamparan pasir sehingga
merasa tertarik untuk turun kembali ke bumi. Ketika telah mendarat di
bumi, burung beo itu menjelma kembali menjadi Prabu Pucuk Umun.
Setelah dirinya menjadi manusia lagi, Pucuk Umun menemukan sisa-sisa
rakyatnya yang tidak mau masuk Islam dan mendirikan perkampungan baru di
daerah Banten Selatan, tepatnya di daerah Lebak. Berdasarkan cerita
ini, sebagian masyarakat Lebak menamakan tempat Pucuk Umun menjadi
burung beo sebagai Cibeo, tempat burung beo melihat hamparan pasir dan
berubah kembali menjadi Pucuk Umun sebagai Cikeusik, dan tempat Pucuk
Umun mendirikan perkampungan baru dinamai sebagai Cikartawana.
Mitos tentang kekalahan Pucuk Umun ketika beradu kesaktian dengan
Maulana Hasanudin memang tidak ditemukan di setiap tradisi lisan atau
cerita rakyat. Dalam suntingan Sajarah Banten yang lain, diceritakan
bahwa Pucuk Umun itu tidak pernah bertanding untuk mengadu keasktian
dengan Maulana Hasanudin. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Pucuk Umum
telah memperkirakan bahwa dirinya sebagai penguasa Pakuan Pajajaran yang
berkuasa di Banten Girang akan digantikan oleh Maulana Hasanudin. Oleh
karena itu, ia kemudian memusnahkan dirinya karena tidak mau tunduk
kepada Maulana Hasanudin, seperti yang dinyatakan dalam Sadjarah Banten.
Pucuk Umun lalu tahu
Jika (ia) akan kedatangan
(orang) yang diperintahkan untuk menggantikan,
terbayang dalam pengamatannya
tidak dapat (tidak) kelak
(ialah orangnya yang akan menjadi) Raja Pakuan
(menggantikan) yang namanya Prabu Seda
maka hilang, musnahlah ia
patutlah diketahui, (bahwa) ia itu,
Prabu Seda itu,
adalah anak Hyang
Prabu Seda Pakuan,
yaitu anak dari
Prabu Mundhing Kawatgita
Ada juga yang meneritakan bahwa ketika ayam Pucuk Umun kalah oleh
ayam Maulana Hasanudin, Pucuk Umun menguji kesaktian Maulana Hasanudin
dengan cara bersembunyi dan meminta Molana Hasanudin untuk menemukan
tempat persembunyiannya itu. Tantangan itu diterima oleh Molana
Hasanudin dan segera memerintahkan kedua jin santrinya untuk mengejar
dan menangkap Pucuk Umun. Setelah mengejarnya, kedua jin santri Molana
Hasanudin berkata kepada majikannya “Maaf Tuan, Pucuk Umun menghilang”. Kemudian berkata Molana Hasanudin, “Yah
sudahlah santri jin, barangkali sudah kehendak Tuhan Yang Agung,
mungkin sudah kehendak-Nya kalau Pucuk Umun menjadi iblis atau kafir
siluman selama-lamanya”. Dalam salah satu cerita rakyat, Pucuk Umun menghilang di Tubuy dan masuk ke dalam bumi sampai tidak pernah kelihatan lagi.
lalu Pucukumun terbang dari
jungkulan langsung
ke Tubuy, lalu musnah Pucukumun
hilang di Tubuy
lalu tidak keluar lagi,
lalu Pucukumun masuk ke dalam bumi
hilang tak kehilatan
Suntingan Sajarah Banten lainnya yang digubah dalam bentuk prosa
menceritakan bahwa Pucuk Umun telah mengetahui maksud kedatangan Molana
Hasanudin yaitu untuk mengislamkan daerah Banten dan menggantikan
kedudukan dirinya sebagai Raja Pakuan yang berkuasa atas wilayah Banten
Girang. Oleh karena itu, sebelum Molana Hasanudin menginjakkan kakinya
di tanah Banten, ia memusnahkan dirinya karena tidak mau memeluk Islam
dan menjadi bawahan Molana Hasanudin.
Selain itu, diceritakan pula bahwa adu ayam yang dilakukan oleh
Molana Hasanudin bukan untuk mengalahkan Pucuk Umun, tetapi untuk
memancing agar penduduk dari daerah lain lebih banyak lagi yang datang
ke Banten.
Berkata Molana: Hai sekalian ajar, mari kita sepakat, semua mencari
tempat untuk bermain mengadu ayam, tempat yang baik untuk kita.
Maka berkata semua ajar: Baik. Maka semua ajar mencari tempat,
menemukan tempat di Weringin Lancar. Berkata ajar: Nah, ini tempat
yang baik. Maka dibersihkanlah tempat itu sehingga terang, maka
pulanglah ajar, memberitahukan kepada lurahnya, Pucuk Umun. Maka
berkata Molana: Apakah ada yang mempunyai ayam? Berkata semua
ajar: Ada, hamba punya. Nah, mari kita bermain. Maka mereka semua
main di Lancar, maka lama kelamaan tersebar berita tentang
keramaian mengadu ayam, mereka berjudi, maka orang-orang dari
daerah pinggiran, datang dan ikut mengadu ayam.
————————————–
MITOS PANGERAN ARYADILLAH
Selain mitos yang terkait dengan masa
transisi dari kekuasaan Hindu ke Islam, terdapat juga mitos yang hidup
di sebagian masyarakat Banten ketika di daerah ini sudah berdiri
Kesultanan Banten. Ada mitos yang menceritakan tentang faktor yang
mendorong majunya Kesultanan Banten, mitos yang bercerita kesaktian
kerabat sultan, dan cerita yang ditujukan untuk menutup-nutupi perilaku
penguasa Banten.
Masyarakat di daerah Banten mengenal sebuah cerita rakyat yang
mengisahkan seorang tokoh bernama Pangeran Aryadillah. Dalam kehidupan
nyata masyarakat Banten, keberadaan tokoh ini didukung oleh adanya dua
makam di lokasi berbeda yang diyakini sebagai makam Pangeran Aryadillah.
Makam pertama terletak di Banten dan yang satu lagi terdapat di
Palembang.
Lebih dari sekedar itu, sampai saat ini pun meninggalnya Pangeran
Aryadillah melahirkan silang pendapat. Sebagian masyarakat berkeyakinan
bahwa Sang Pangeran memang sudah meninggal, tetapi sebagian masyarakat
yang lain menganggap bahwa Pangeran Aryadillah belum meninggal melainkan
ngahyang ke alam gaib.
Menurut cerita ini, Pangeran Aryadillah merupakan putra seorang raja
di Banten. Akan tetapi, ia sendiri tidak tahu siapa ayahnya itu. Ia
kemudian bercerita kepada Hasnudin. Setelah mendengar penuturan Pangeran
Aryadillah, Hasnudin meminta dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya
memang anak seorang raja Banten. Hasnudin menyuruh Aryadillah untuk
merontok seluruh daun beringin dari pohonnya tanpa tersisa sehelai pun.
Aryadillah menyanggupi permintaan Hasnudin kemudian bertapa di bawah
pohon beringin yang akan dirontokkan seluruh daunnya itu. Dalam
pertapaannya itu, ia meminta bantuan kepada ibu dan kakeknya agar
kesaktiannya bisa merontokkan seluruh daun pohon beringin itu.
Tidak lama kemudian, dengan kesaktian yang dimilikinya, pohon
beringin itu ditiup oleh dirinya hingga seluruh daunnya rontok. Tidak
ada daun yang rusak atau tertinggal di pohonnya walaupun hanya selembar.
Setelah berhasil menjawab tantangan Hasnudin, Aryadillah akhirnya
diakui sebagai anak raja Banten dan namanya menjadi Pangeran Aryadillah.
Setelah dirinya diakui sebagai anak raja Banten, Pangeran Aryadillah diberi tugas oleh ayahnya untuk mengusir semua dedemit yang
ada di sekitar keraton. Setelah itu, ia pun pergi ke perairan Teluk
Banten untuk melakukan tugas yang sama sehingga petilasannya sampai
sekarang dikenal dengan sebutan Karang Hantu. Selain berhasil menaklukkan para dedemit,
Pangeran Aryadillah pun berjasa dalam menaklukkan Prabu Pucuk Umun di
Banten Girang dan bersama-sama dengan Maulana Yusuf berhasil
menghancurkan pusat kekuasaan Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran.
Ketika Maulana Muhammad Nasrudin menjadi penguasa Banten,
kesaktiannya diperlukan oleh sultan yang berencana hendak menyerang
Palembang. Atas perintah Maulana Muhammad, ia berangkat ke Palembang
untuk menaklukkan negeri tersebut. Akan tetapi, di tempat inilah pasukan
yang dipimpinnya mengalami kekalahan hingga dirinya gugur. Oleh karena
kesaktian yang dimiliki oleh dirinya, sebenarnya Sang Pangeran tidaklah
gugur melainkan menghilang dan masuk ke alam gaib. Sampai sekarang,
tempat yang diyakini sebagai makam Sang Pangeran oleh sebagian
masyarakat Banten selalu diziarahi untuk mendapatkan berkahnya.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam tradisi masyarakat Banten,
peranan Sunan Gunung Jati dalam proses berdirinya Kesultanan Banten
kurang begitu menonjol. Hal ini bisa dilihat dari suatu kenyataan bahwa
masyarakat Banten selalu merujuk kepada Maulana Hasanudin sebagai
pendiri Kesultanan Banten. Hal yang sebaliknya terjadi di Cirebon bahwa
baik Kesultanan Banten maupun Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan
Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa di Cirebon hubungan
antara kedua kesultanan ini begitu harmonis. Akan tetapi, ketika Sunan
Gunung Jati telah meninggal dunia, hubungan tersebut menjadi kurang
begitu harmonis. Selain itu, Kesultanan Banten justru semakin berkembang
dan menjelma menjadi sebuah pusat kekuasaan Islam di Pulau Jawa bagian
barat.
Sementara Kesultanan Cirebon secara perlahan-lahan mengalami
kemunduran karena tidak mampu menghadapi kekuatan-kekuatan kerajaan yang
ada di sekitarnya, yakni Banten dan VOC di sebelah barat, serta Mataram
di sebelah timur. Nah, kondisi inilah yang melahirkan sebuah cerita
yang kemudian dijadikan landasan pembenaran bahwa majunya Banten karena
memang simbol kekuasaan Cirebon telah berpindah ke Banten.
————————————–
MITOS PINDAHNYA SIMBOL KEKUASAAN CIREBON KE BANTEN
Cerita tentang pindahnya simbol kekuasaan Cirebon ke Banten diawali
oleh keputusan para wali untuk menghukum mati Syeh Lemah Abang karena
memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan para wali lainnya. Paham
yang dimiliki oleh Syeh Lemah Abang itu sangat berbahaya kalau diajarkan
kepada kaum muslimin yang awam. Dengan menggunakan keris Kantanaga
milik Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus menusuk tubuh Syeh Lemah Abang
sampai meninggal dunia.
Seketika, tubuhnya menghilang dan seiring dengan itu keluarlah suara
gaib yang meramalkan masa depan Cirebon. Suara gaib itu berkata, “Bahwa
Cirebon akan menjadi negara merdeka sampai anak-cucu, tetapi nanti jika
telah datang kerbau putih, anak-cucu harus tahu sendiri”. Sunan Gunung Jati pun membenarkan ramalan suara gaib itu dan hal itu akan terjadi pada generasi kesembilan keturunannya.
Selanjutnya diceritakan dalam Babad Cirebon, terjadilah
perkawinan antara Ratu Ayu dan Ratu Bagus Faseh. Ratu Ayu merupakan anak
Sunan Gunung Jati sekaligus bekas istri Sultan Demak. Pernikahan itu
melahirkan seorang putri yang bernama Ratu Nawati Rarasa yang kemudian
dinikahi oleh Pangeran Dipati Pakungja, anak Pangeran Pasarean. Mereka
kemudian memiliki putra yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Ratu.
Setelah Sunan Gunung Jati meninggal dunia, kekuasaan atas Cirebon
diserahkan kepada Panembahan Ratu.
Pada masa itu, Mesjid Agung Cirebon terbakar dan bagian atas masjid itu (momolo)
meloncat menuju Banten. Sejak saat itu berdirilah Kesultanan Banten
yang mengalami perkembangan begitu pesat. Sebaliknya dengan Cirebon,
sejak peristiwa itu mengalami kemunduran yang ditandai dengan takluknya
Panembahan Ratu atas Sultan Mataram. Selain takluk kepada Sultan
Mataram, ia pun kemudian menjadi bayangan penguasa Banten.
Sejak saat itulah, di daerah paling barat Pulau Jawa berdiri
Kesultanan Banten yang mengalami kemajuan pesat dan kekuasaannya
meliputi sebagian Pulau Sumatera. Kejayaan Kesultanan Banten tidak bisa
dikalahkan baik oleh VOC maupun oleh Mataram. Hanya karena terjadi
konflik intern, kedaulatan Kesultanan Banten sedikit demi sedikit
berkurang. Terkait dengan hal ini, sebagian masyarakat Banten mengenal
adanya cerita yang kalau diperhatikan cenderung bersifat mitos karena
kebenarannya sulit dibuktikan secara historis.
Ketika Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
kesultanan ini mencapai masa kejayaannya. Selain itu, ia pun menghadapi
dua musuh sekaligus yaitu VOC dan anaknya sendiri yang dikenal dengan
sebutan Sultan Haji. Sultan Haji menjadi musuh ayahnya karena terhasut
oleh VOC. Permusuhan itu lambat laun menjadi konflik terbuka sehingga
terjadilah peperangan terbuka antara bapak dan anaknya. Peristiwa ini
sungguh sangat memalukan masyarakat Banten yang dikenal sebagai
masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Untuk menutupi
peristiwa tersebut diciptakanlah cerita yang isinya menolak penentangan
Sultan Haji kepada ayahnya.
Dalam Wawacan Haji Mangsur, dikatakan bahwa sewaktu masih
kecil, Pangeran Abunasr Abdulkahar (Sultan Haji) merupakan seorang anak
yang halus budi pekertinya dan amat berbakti kepada orang tua. Ketika
usianya sudah cukup dewasa, ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
haji. Sebelum berangkat ke Mekkah, ia dinasihati oleh ayahnya (Sultan
Ageng Tirtayasa) untuk segera pulang ke Banten begitu selesai menunaikan
ibadah haji.
Ayahnya meminta kepada anaknya agar sepulangnya dari Mekkah tidak
singgah kemana-mana dahulu. Akan tetapi, Pangeran Abunasr Abdulkahar ini
lupa akan nasihat ayahnya karena setelah menunaikan ibadah haji, ia
tidak langsung pulang ke Banten melainkan terlebih dahulu singgah di
Negeri Cina dan menikahi seorang wanita Tionghoa yang sangat cantik.
Ketika Pangeran Abunasr Abdulkahar masih tinggal di Negeri Cina, ada
seorang laki-laki yang mirip dengan dirinya. Laki-laki itu adalah kakak
perempuan yang dinikahi oleh Pangeran Abunasr Abdulkahar.
Laki-laki yang mirip Pangeran Abunasr Abdulkahar ini kemudian
meninggalkan negerinya menuju Banten, negeri suami adiknya. Setelah
mendarat di Banten, ia kemudian mengakukan diri sebagai Pangeran Abunasr
Abdulkahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa. Meskipun penuh dengan
ketidakpercayaan, Sultan dan rakyat Banten menerima kedatangan Pangeran
Abunasr Abdulkahar dan memperlakukannya sebagaimana lazimnya terhadap
putra mahkota. Setelah dirinya berada di keraton, VOC mulai melaksanakan
rencananya untuk mengadudombakan mereka. Oleh karena itu, terjadilah
konflik terbuka antara ayah dan “anaknya” itu.
Selain itu, terdapat pula cerita mitos tentang Sultan Haji yang agak
berbeda dengan cerita sebelumnya. Ketika akan menunaikan ibadah haji
yang keduakalinya, Sultan Haji singgah dahulu di Pulau Putri. Di pulau
ini, ia jatuh cinta kepada seorang putri cantik dan berkeinginan untuk
menikahinya. Sang putri mau dinikahi oleh Sultan Haji asalkan seluruh
pakaian dan perhiasannya mesti dijadikan mahar pernikahan mereka.
Sultan Haji menyanggupi permintaan Sang Putri dan menyerahkan seluruh
pakaian dan perhiasannya kepada Sang Putri. Oleh Sang Putri, mahar
pernikahannya itu diberikan kepada kakaknya yang kebetulan berwajah
mirip dengan Sultan Haji. Setelah mengenakan pakaian dan seluruh
perhiasan Sultan Haji, kakak Sang Putri kemudian berlayar ke Batavia dan
mengaku diri sebagai Pangeran Abunasr Abdulkahar (Sultan Haji). Rakyat
Banten mengakuinya, karena memang wajahnya amat mirip dengan Sultan Haji
asli.
Apalagi dengan mengenakan pakaian dan perhiasan Sultan Haji,
sempurnalah ia sebagai Sultan Haji palsu. Dialah yang kemudian berperang
melawan Sultan Ageng Tirtayasa dan memerintah Banten. Selang beberapa
tahun, Sultan Haji asli pulang ke Banten dan melihat keadaan Banten yang
sudah berubah. Untuk menjaga jangan sampai terjadi keributan di
negerinya, ia kemudian pergi ke Cimanuk, Cikadueun, Pandeglang. Di sana
ia aktif menyebarkan agama Islam hingga meninggal dunia. Dialah yang
kemudian dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun.
Cerita rakyat yang telah disajikan itu merupakan mitos yang terkait
dengan masa perpindahan kekuasaan dari Kerajaan Sunda kepada Kesultanan
Banten dan mitos yang bertalian dengan keberadaan Kesultanan Banten.
Cerita itu dikategorikan sebagai mitos karena memang sangat sulit untuk
dibuktikan secara historis. Musnahnya Pucuk Umun yang kemudian menjelma
menjadi burung beo, kemudian ayam Pucuk Umun yang terbuat dari pasir
besi dan ayam Maulana Hasanudin yang merupakan jelmaan jin merupakan
cerita yang sulit untuk diterima oleh akal sehat.
Demikian juga dengan penentuan tempat tinggal Sunan Gunung Jati yang
dilakukannya dengan melemparkan tongkat dari Cirebon dan cerita mengenai
kesaktian serta terdapat dua orang Sultan Haji, merupakan cerita yang
sangat sulit dibuktikan secara historis. Cerita-cerita mitos itu
kemudian hidup di tengah-tengah masyarakat dan kemudian dipandang
sebagai bagian dari cerita masa lalu masyarakat Banten.
Sumber : http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/20/mitos-mitos-yang-beredar-di-masyarakat-di-banten-kidul/
0 komentar:
Posting Komentar