Produksi Mobil Di Banten |
Perekonomian wilayah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2001-2005
bergerak dengan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) rata-rata 4,93% per tahun
(3,95% pada tahun 2001 dan 5,88% pada tahun 2005) Sejalan dengan
peningkatan LPE tersebut PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2005
telah mencapai Rp. 84,62 Trilyun dan PDRB atas dasar harga konstan
(2000) sebesar Rp. 58,11 Trilyun. Sedangkan PDRB per kapita Banten
meningkat dari Rp. 8,07 Juta pada tahun 2004 menjadi Rp. 9,09 Juta pada
tahun 20056).
Pola perkembangan perekonomian
wilayah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2001-2005 dicirikan dengan
pergeseran peranan sektoral, dimana penguatan peran sektor tersier
(service) ditunjukkan oleh peningkatan yang pada tahun 2001 baru
mencapai 30,98% meningkat menjadi 34,02% pada tahun 2005. Sektor
sekunder yang memuat sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air
bersih memberikan konstribusi terhadap PDRB mengalami penurunan dari
59,27% (2001) menjadi 57,34% (2005). Penurunan ini disebabkan oleh
semakin turunnya peranan sektor industri dalam perekonomian Banten.
Sama
halnya sengan kelompok sektor sekunder, sektor primer juga mengalami
penurunan dari 9,74% pada tahun 2001 menjadi 8,64% pada tahun 20056).
Sektor
pertambangan dan penggalian mampu menyerap tenaga kerja secara lebih
baik dibandingkan sektor-sektor lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh
rasio rata-rata kontribusi ekonomi terhadap rata-rata kontribusi tenaga
kerja yang sebesar 4,70. Kecenderungan sektor padat karya lainnya
ditunjukkan oleh sektor pertanian (2,92), sektor jasa-jasa (2,50),
sektor bangunan (1,53) serta sektor perdagangan hotel dan restoran
(1,20). Sedangkan sektor-sektor dengan kecenderungan padat modal
ditunjukkan oleh sektor listrik, gas dan air bersih (0,08), sektor
industri pengolahan (0,46), sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan (0,94), serta sektor pengangkutan dan komunikasi (0,96).
Peningkatan
laju pertumbuhan ekonomi antara lain ditopang oleh investasi (PMTB)
yang bertumbuh dari tahun ke tahun dengan laju rata-rata 13,97% per
tahun. Struktur investasi di Provinsi Banten ditunjukkan dengan
komposisi investasi swasta dan masyarakat yang sebesar 68,30% serta
investasi pemerintah 31,70%. Investasi swasta dan masyarakat terdiri
dari PMA dan PMDN yang masing-masing berkontribusi 21,30% dan 14,31%,
sedangkan peranan investasi UMKMK sebesar 32,69%. Sedangkan investasi
pemerintah terdistribusi dalam dana APBN (10,39%), dana APBD Provinsi
Banten (6,77%) serta dana APBD kabupaten/kota (14,54%).
A. Penanaman Modal
Meskipun
terjadi kecenderungan penurunan investasi (PMA dan PMDN) selama periode
2002-2004, yang mendudukkan nilai investasi hanya sebesar Rp. 2,9
trilyun melalui 36 proyek hingga tahun 2004, namun pada tahun 2005
realisasi investasi dapat ditingkatkan kembali menjadi Rp. 13,59 Trilyun
melalui 102 proyek. Pencapaian nilai proyek investasi pada tahun 2005
tersebut telah menempatkan Banten sebagai tujuan investasi tertinggi di
tingkat nasional. PMA mendominasi nilai dan jumlah proyek investasi
dengan rata-rata kontribusi per tahun masing-masing 68,33% dan 80,52%
per tahun, dimana hingga tahun 2006 tercatat realisasi nilai PMA sebesar
Rp. 6,06 Trilyun melalui 75 proyek, baik yang bersifat investasi baru
maupun perluasan investasi.
Berdasarkan
realisasi investasi dalam kurun waktu 2002-2006, orientasi lokasi PMA
khususnya tertuju pada Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, dimana
masing-masing sekitar 68,33% dan 21,67% terhadap jumlah realisasi PMA.
Orientasi PMA terhadap Kabupaten Serang dan Kota Cilegon masing-masing
hanya sekitar 6,67% dan 3,33%. Realisasi PMA di Kabupaten Lebak selama
kurun waktu tersebut tercatat hanya 1 proyek dengan nilai 230.655 US$,
sedangkan di Kabupaten Pandeglang realisasi PMA sama sekali belum ada.
Demikian halnya dengan realisasi PMDN yang terorientasi di Kabupaten
Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang, dimana masing-masing
menyerap sekitar 42,11%, 31,58% dan 21,05% dari seluruh realisasi PMDN
2002-2004.
Sektor usaha yang diminati melalui
investasi masih terkonsentrasi pada sektor usaha perdagangan dan
reparasi (sekitar 20,33% dari jumlah proyek PMA), industri logam dasar,
barang dari logam, mesin dan elektronika (17,01%), industri karet,
barang dari karet dan plastik (9,96%), industri kimia dasar, barang
kimia, dan farmasi (9,96%), dan industri tekstil (7,47%). Minat usaha
melalui PMA dalam mendorong mengembangkan usaha berbasis sumberdaya
lokal atau yang menyentuh sektor-sektor ekonomi yang menjadi mata
pencaharian utama masyarakat (pertanian) sudah mulai tumbuh namun dalam
kapasitas yang masih relatif kecil, antara lain diperlihatkan dengan
adanya persetujuan proyek PMA pada sektor usaha pertanian hortikultura,
sayuran dan bunga (1 proyek), industri pengolahan, pengawetan
buah-buahan dan sayuran (1 proyek) serta industri tepung dan pati (1
proyek).
B. Perindustrian
Terjadi
penurunan jumlah industri dalam kurun waktu 2001-2003, dari 1.664
perusahaan (2001) menjadi 1.576 perusahaan (2003) dengan laju penurunan
rata-rata per tahun 2,67% atau sekitar 44 perusahaan yang menutup
usahanya per tahun. Penurunan jumlah industri hampir terjadi di seluruh
kabupaten/kota, kecuali di Kabupaten Tangerang yang mengalami
peningkatan 0,97%. Tingkat penurunan jumlah industri di Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Serang cukup tinggi, dimana masing-masing
mencapai 45,00% dan 14,15%. Penurunan jumlah industri tersebut berimbas
pada menurunnya jumlah tenaga kerja yang terserap, dengan laju penurunan
rata-rata per tahun 1,42%, dimana tingkat penurunan tertinggi terjadi
di Kota Cilegon (38,11%) dan Kabupaten Pandeglang (9,65%).
Berdasarkan
perbandingan antara jumlah tenaga kerja dengan jumlah perusahaan pada
22 golongan industri yang ada di Provinsi Banten menunjukkan sekitar
98,16% perusahaan yang ada tergolong dalam industri besar (menyerap
tenaga kerja lebih dari 100 orang), sisanya 1,59% perusahaan tergolong
dalam industri menengah (menyerap tenaga kerja 20 sampai 99 orang).
Dalam hal nilai tambah yang dihasilkan industri hingga tahun 2003,
meskipun menunjukkan peningkatan dari Rp. 29.320,56 Milyar (2001)
menjadi Rp. 34.845,41 Milyar (2003), namun proporsi nilai tambah antara
industri besar dengan industri menengah menunjukkan kesenjangan yang
cukup tinggi, yaitu masing-masing 99,77% dan 0,23%.
Nilai
impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk
seluruh industri meningkat dari 28 persen pada tahun 1993 menjadi 30
persen pada tahun 2002. Khusus untuk industri tekstil, kimia, dan logam
dasar nilai tersebut mencapai 30-40 persen, sedangkan untuk industri
mesin, elektronik dan barang-barang logam mencapai lebih dari 60 persen.
Tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi
terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang
mengalir pada perekonomian domestik (Perpres No. 7 Tahun 2004 Tentang
RPJM Nasional 2004-2009). Sesuai dengan jenis industri yang mendominasi
di Provinsi Banten, maka kondisi ini diperkirakan turut mewarnai
permasalahan lemahnya struktur industri di tingkat daerah.
C. Perdagangan
Posisi
strategis Provinsi Banten yang merupakan gerbang barat Pulau Jawa
(sebagai simpul rantai distribusi dari Pulau Sumatera menuju Pulau Jawa
dan sebaliknya), berada dekat dengan perlintasan pelayaran internasional
(Selat Sunda merupakan jalur ALKI yang menghubungkan antara Asia Barat
dan sekitarnya dengan Asia Pasifik), serta berbatasan langsung dengan
pusat pemasaran nasional yaitu DKI Jakarta. Pelabuhan Merak merupakan
salah satu dari 6 (enam) pelabuhan di Pulau Jawa dengan volume dan nilai
ekspor tertinggi (Statistik Indonesia 2002). Selanjutnya
pelabuhan-pelabuhan besar di Provinsi Banten merupakan salah satu dari
10 (sepuluh) pelabuhan di tingkat nasional dengan volume angkutan
tertinggi.
Volume ekspor pada tahun 2005
mengalami penurunan yaitu dari 1.274.510 ton (2000) menjadi 1.000.092
Ton (2005), akan tetapi dari nilai ekspor (USD) selama kurun waktu
tersebut mengalami kenaikan 17,49% atau USD. 478.464.506. pada tahun
2000 naik menjadi USD. 562.154.306 pada tahun 2005. Impor melalui
pelabuhan-pelabuhan utama di Provinsi Banten lebih mendominasi daripada
ekspor, baik dari sisi volume maupun nilainya. Sejak tahun 2000 hingga
tahun 2005 rata-rata volume impor telah mencapai 6.888.500 Ton dengan
volume terbesar pada tahun 2004 yang mencapai 10.199.949 Ton. Sedangkan
nilai ekspor rata-rata adalah US$ 2.127.659.343 dan US$ 3.581.975.185,
dengan laju pertumbuhan volume dan nilai impor rata-rata per tahun
(2000-2005) masing-masing sebesar 11,84% dan 14,96%.
Hingga
tahun 2004 terdapat 29 jenis komoditi ekspor melalui
pelabuhan-pelabuhan utama di Provinsi Banten. Berdasarkan volume dan
nilai ekspor atas seluruh komoditi tersebut, menunjukkan kesenjangan
yang sangat tinggi, yang ditunjukkan oleh dominasi bahan kimia organik,
besi dan baja, serta kertas, barang dari pulp/kertas dengan persentase
volume ekspor masing-masing 38,71%, 31,40% dan 15,97%, serta dengan
nilai ekspor masing-masing 47,15%, 23,30% dan 17,51%. Bahan kimia
anorganik dan aneka produk kimia meskipun dengan volume dan nilai yang
cukup jauh dari komoditi diatas, namun masih memiliki persentase volume
dan nilai ekspor yang berkisar antara 2 sampai 5%. Sedangkan 24 komoditi
lainnya hanya memiliki persentase volume dan nilai ekspor rata-rata di
bawah 1,06%.
Hingga tahun 2004 terdapat 369
pasar, yang terdiri dari 197 pasar dengan bangunan, 150 pasar tanpa
bangunan, dan 22 pasar hewan. Di Kota dan Kabupaten Tangerang, jumlah
pasar per kecamatan sudah telah mencapai 4-5 pasar/kecamatan atau setiap
pasar melayani 2-3 desa/kelurahan, sedangkan di Kota Cilegon, Kabupaten
Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak baru mencapai 2-3
pasar/kecamatan atau setiap pasar melayani 4-6 desa/kelurahan. Hasil
produksi lokal belum diserap secara optimal, dimana kondisi tersebut
setidaknya dapat ditunjukkan dengan cukup tingginya laju inflasi di Kota
Serang/Cilegon pada tahun 2003 (5,21%) dan 2004 (6,40%) yang lebih
besar dari laju inflasi nasional (tahun 2003 sebesar 5,06% dan tahun
2004 sebesar 6,36%).
D. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Sampai
dengan tahun 2004 jumlah koperasi mencapai 5.001 unit dengan jumlah
anggota sebanyak 737.543 orang. Berdasarkan jumlah tersebut, koperasi
yang masih aktif hanya sebesar 3.261 unit atau hanya sekitar 65,21%,
namun baru sekitar 74,49% unit koperasi aktif yang memiliki manajer
koperasi. Persentase jumlah koperasi non aktif semakin membesar dari
31,26% (1.489 unit) pada tahun 2003 menjadi 34,79% (1.740 unit) pada
tahun 2004. Selanjutnya, jumlah SHU yang dihasilkan dalam kurun waktu
2002-2004 juga mengalami penurunan dari sekitar Rp. 71,60 milyar menjadi
Rp. 51,12 milyar, atau dengan tingkat penurunan 28,60%.
Hingga
tahun 2004 industri kecil di Provinsi Banten berjumlah 23.789 unit,
sedangkan industri kerajinan 33.446 unit. Berdasarkan jumlah SIUP (Surat
Izin Usaha Perdagangan) yang diberikan pada tahun 2004 menunjukkan
legalitas usaha industri kecil dan kerajinan baru mencapai sekitar
22,15%. Industri kecil sebagian besar tersebar di Kabupaten Lebak
(13.097 unit), sedangkan industri kerajinan paling berkembang di
Kabupaten Tangerang (14.449 unit). Berbagai permasalahan yang
diperkirakan masih dihadapi oleh UMKM di Provinsi Banten adalah
rendahnya kualitas sumber daya manusia UMKM khususnya dalam bidang
manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran; rendahnya
kompetensi kewirausahaan UMKM; keterbatasan akses kepada sumber daya
produktif terutama terhadap permodalan, teknologi, informasi dan pasar;
produk jasa lembaga keuangan sebagian besar masih berupa kredit modal
kerja, sedangkan untuk kredit investasi sangat terbatas; peran
masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan kepada UMKM juga belum
berkembang, karena pelayanan kepada UMKM masih dipandang kurang
menguntungkan.
E. Pertanian dan Peternakan
Luas
panen dan produksi budidaya padi dari 338.666 ha dan 1.468.765 ton atau
dengan tingkat produksi per hektar mencapai 4,34 ton/ha pada tahun 2002
telah berkembang menjadi 364.721 ha dan 1.812.495 ton atau dengan
tingkat produksi per hektar mencapai 49,7 ton/ha hingga tahun 2005. Bila
mengacu pada pola perkembangannya, pada tahun 2005 dan 2006 tingkat
produksi per hektar diperkirakan tetap meningkat meskipun dengan
kecenderungan melambat. Praktek budidaya selama kurun waktu 2002-2004
semakin membaik (intensif), sebagaimana tercermin dari laju pertumbuhan
produksi rata-rata yang lebih tinggi (11,16% per tahun) dari laju
pertumbuhan luas panen rata-rata (2,33% per tahun) atau dengan rasio
4,78 (apabila nilai rasio > 1 maka kecenderungannya intensifikasi,
dan apabila nilai rasio < 1 maka kecenderungannya ekstensifikasi).
Meskipun
rata-rata laju pertumbuhan kinerja produksi per luas panen untuk
seluruh jenis tanaman palawija yang diusahakan meningkat, namun pola dan
praktek produksi palawija relatif belum bertumbuhkembang, dimana dengan
laju pertumbuhan rata-rata luas panen yang cukup baik (2,48% per tahun)
namun peningkatan laju pertumbuhan rata-rata produksi hanya sebesar
4,08% per tahun, atau dengan rasio yang hanya mencapai 1,64. Diantara
berbagai jenis tanaman palawija yang diusahakan, hanya ubi kayu dan
kacang kedelai yang memiliki rasio laju pertumbuhan produksi rata-rata
berbanding laju pertumbuhan luas panen rata-rata di atas angka 1
(masing-masing 1,41 dan 6,75).
Secara rata-rata
luas panen untuk jenis tanaman sayuran yang diusahakan mengalami
peningkatan dari 13.777 ha pada tahun 2002 menjadi 19.095,13 ha hingga
tahun 2005. Namun dalam kurun waktu yang sama, produktifitas untuk jenis
tanaman sayuran yang diusahakan semakin menurun, dimana berdasarkan
kapasitas produksi per luas panen dari 59,71 ton/ha pada tahun 2002
menjadi 7,51 ton/ha pada tahun 2005. Penurunan tersebut antara lain
disebabkan oleh perubahan variasi minat petani terhadap jenis tanaman
yang diusahakan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan luas panen dalam
kurun waktu 2002-2004 bergerak pada angka 17,75% per tahun, namun laju
pertumbuhan produksi justeru berada pada posisi -0,73% per tahun.
Budidaya
ternak di Provinsi Banten meliputi jenis budidaya sapi potong, sapi
perah, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi. Secara keseluruhan, jumlah
populasi ternak yang dibudidayakan semakin meningkat antara tahun
2002-2004 dengan rata-rata laju pertumbuhan jumlah dan jenis populasi
sebesar 24,97% per tahun. Persediaan (stock) ternak untuk kebutuhan
konsumsi daging pada tahun 2004 dibandingkan dengan jumlah ternak yang
dipotong menunjukkan sisi penyediaan yang sudah sangat memadai. Khusus
untuk ternak sapi, jumlah populasi ternak yang tersedia pada tahun 2004
hanya 24,25% terhadap jumlah ternak yang dipotong, sehingga dalam
penyediaan kebutuhan konsumsi sebagian besar masih didatangkan dari
luar.
Populasi ternak unggas di Provinsi Banten
dalam kurun waktu 2002-2005 mengalami peningkatan dengan rata-rata laju
pertumbuhan jumlah untuk seluruh jenis sebesar 16,70%, yang meliputi
ayam buras, ayam ras (pedaging dan petelur) serta itik. Sedangkan untuk
produksi ternak unggas, walaupun secara keseluruhan masih memiliki
rata-rata laju pertumbuhan produksi sebesar 14,79%, namun untuk produksi
ternak yang menghasilkan daging (ayam buras dan ayam pedaging) setiap
tahunnnya mengalami penurunan. Pada tahun 2005-2006 diperkirakan
populasi dan produksi unggas mengalami penurunan seiring dengan
merebaknya kasus flu burung yang menyebabkan adanya kegiatan pemusnahan
unggas maupun penurunan diakibatkan kekhawatiran masyarakat dalam
mengkonsumsi daging unggas.
Nilai tambah
komoditas ini masih rendah karena pada umumnya pemasaran atau ekspor
dilakukan dalam bentuk segar (produk primer) dan olahan sederhana.
Perkembangan industri hasil pertanian belum optimal, ditunjukkan oleh
rendahnya tingkat utilisasi industri hasil pertanian dan perikanan.
Peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui proses pengolahan
memerlukan investasi dan teknologi pengolahan yang lebih modern. Kondisi
ini diperberat oleh semakin tingginya persaingan produk dari luar
negeri, baik yang masuk melalui jalur legal maupun ilegal. Perkembangan
dalam tiga tahun terakhir, Indonesia sudah menjadi importir netto untuk
komoditas tanaman bahan makanan, hasil ternak dan pakan ternak, beras,
jagung, dan gula.
Pendapatan per kapita
petani/nelayan dan masyarakat di sekitar hutan di Provinsi Banten dari
sekitar Rp. 6.538.232 per kapita/tahun pada tahun 2002 meningkat menjadi
Rp. 8.004.179 per kapita/tahun hingga tahun 2005, dan bila melihat
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada tahun 2005 yang sebesar
Rp. 1.956.287 per kapita/bulan tentunya pendapatan petani masih jauh
tertinggal (Rp. 667.015 per kapita/bulan). Selanjutnya, sebagian besar
kelompok masyarakat ini termasuk golongan miskin dengan usaha pertanian,
perikanan dan kehutanan, yang masih tradisional dan bersifat subsisten.
F. Kehutanan dan Perkebunan
Luas
hutan negara di Provinsi Banten mengalami peningkatan antara tahun 2003
(78.649,61 ha) ke tahun 2004 (80.189,58 ha) dengan laju pertumbuhan
sebesar 1,96%. Dengan demikian, proporsi hutan negara terhadap luas
semakin meningkat, yaitu dari 8,94% menjadi 9,11%. Hingga tahun 2004,
sebaran hutan secara dominan terdapat di Kabupaten Pandeglang (47,89%)
dan Kabupaten Lebak (46,02%), sedangkan sisanya di Kabupaten Serang
(6,09%). Bila ditinjau menurut jenisnya, terjadi pergeseran yang drastis
antara komposisi hutan lindung dengan hutan produksi dalam kurun waktu
2003-2004, dimana hutan lindung dengan luasan 25.116,01 ha (31,93%
terhadap luas hutan negara) pada tahun 2003 menjadi 7.894,11 ha (9,84%)
pada tahun 2004 atau dengan laju penurunan sebesar 69,17% (berkurang
17.221,90 ha). Keberadaan hutan produksi mengalami peningkatan dari
53.533,60 ha pada tahun 2003 menjadi 72.295,47 ha hingga tahun 2004,
atau dengan laju pertumbuhan 35,05%. Hutan produksi tetap dari 53.533,60
ha (2003) menjadi 42.479,95 ha (2005) atau menurun dengan laju 35,05%
(berkurang 10.996,05 ha), sedangkan penerapan fungsi hutan produksi
terbatas pada tahun 2005 meliputi luasan 80.160,11 ha (62,01% terhadap
hutan produksi secara keseluruhan).
Meningkatnya
produktifitas pemanfaatan hasil hutan dalam bentuk kayu hingga tahun
2005 didominasi oleh jenis kayu jati dan kayu rimba. Bila mengacu pada
luas hutan produksi antara tahun 2003-2005, produktifitas nilai produksi
hasil hutan mengalami peningkatan dari Rp. 224.846,55/ha menjadi Rp.
423.588,14/ha atau meningkat sebesar 88,39%, dimana hal ini diantaranya
disebabkan oleh penerapan perluasan hutan produksi terbatas. Peningkatan
nilai produksi tersebut juga dipengaruhi oleh peningkatan laju
pertumbuhan volume produksi kayu jati dan kayu rimba dalam kurun waktu
yang sama, yaitu masing-masing 302,26% dan 52,92%.
Peran
hutan umumnya hanya dipandang dari sisi produksi hasil kayunya saja.
Padahal beberapa penelitian menyebutkan bahwa nilai hutan dari hasil
kayu hanya 7 persen, sementara selebihnya berasal dari hasil hutan non
kayu. Namun demikian sampai sekarang yang dimanfaatkan masih
terkonsentrasi pada kayu. Hasil hutan non kayu yang cukup potensial
antara lain adalah rotan, tanaman obat-obatan, dan madu.
Budidaya
perkebunan di Provinsi Banten diusahakan melalui 3 (tiga) jenis
pengusahaan yang terdiri dari perkebunan besar negara, perkebunan besar
swasta dan perkebunan rakyat yang banyak berkembang di Kabupaten
Pandeglang, Lebak, Serang dan Tangerang. Berdasarkan luasan yang
diusahakan, terjadi peningkatan luas perkebunan dari 92.742,94 ha pada
tahun 2002 menjadi 181.247,60 hingga tahun 2004 atau dengan laju
pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 46,38%. Tingginya peningkatan
luas area tersebut, terutama disebabkan oleh peningkatan luas area
perkebunan rakyat pada tahun 2003 yang mencapai 82.781,50 ha atau
meningkat 105,43% dari 78.517,23 ha pada tahun 2002. Pengelolaan
perkebunan rakyat dalam kurun waktu 2002-2004 juga dapat dikatakan lebih
baik, dimana rata-rata proporsi luas area menghasilkan (73,35%) dan
tanaman muda (16,54%) per tahunnya lebih besar dari rata-rata proporsi
luas tanaman rusak (10,11%).
Berdasarkan jenis
tanaman yang diusahakan oleh perkebunan besar negara dan perkebunan
besar swasta meliputi karet, kelapa sawit, kakao dan kelapa. Untuk
budidaya kelapa, karet, kakao dan kelapa sawit oleh kedua jenis usaha
tersebut berkembang cukup baik, dimana rata-rata laju pertumbuhan luas
area menghasilkan dalam kurun waktu 2002-2005 mengalami peningkatan,
meskipun laju pertumbuhan produksi (seluruh jenis tanaman) berkembang
secara fluktuatif dan rata-rata luas area tanaman rusak masih lebih
tinggi dari rata-rata luas area tanaman muda. Jenis tanaman yang
diusahakan melalui perkebunan rakyat mengalami penurunan, dimana dari 22
jenis tanaman pada tahun 2002, menjadi 21 jenis tanaman (2003) dan
selanjutnya hanya 32 jenis tanaman (2005).
Nilai
tambah komoditas perkebunan masih rendah karena pada umumnya pemasaran
dilakukan dalam bentuk segar (produk primer) dan olahan sederhana.
Perkembangan industri hasil perkebunan belum optimal, meskipun industri
karet dan barang dari karet merupakan golongan industri dengan jumlah
terbesar di Provinsi Banten (2005), namun industri-industri yang
memanfaatkan produk perkebunan lainnya seperti kopra, CPO, BCK, dan
lain-lainnya masih terbatas.
G. Kelautan dan Perikanan
Usaha
perikanan di Provinsi Banten meliputi jenis perikanan tangkap (laut dan
perairan umum) serta perikanan budidaya (laut, tambak, kolam, sawah,
keramba, jaring terapung). Produksi perikanan hingga tahun 2004 mencapai
76.324,05 Ton dengan nilai Rp. 538.130 Juta (merupakan penurunan dari
produksi 87.279,40 Ton dengan nilai produksi Rp. 588.101 Juta pada tahun
2002). Penurunan produksi perikanan terutama dipengaruhi penurunan
produksi perikanan tangkap yang mencapai 17,65% dalam kurun waktu
2002-2004, sedangkan penurunan produksi perikanan budidaya hanya sebesar
2,95%. Perikanan tangkap berkontribusi terhadap produksi sebesar 70,98%
dan nilai produksi sebesar 54,24%, sedangkan perikanan budidaya
berkontribusi terhadap produksi sebesar 29,02% dan nilai produksi
sebesar Rp. 45,76%.
Potensi sumberdaya
perikanan tangkap laut Provinsi Banten tersebar di Laut Jawa, Selat
Sunda dan Samudera Hindia, atau pada wilayah perairan Provinsi Banten
yang seluas 11.134,224 km2 (belum termasuk perairan nusantara/
teritorial dan zona ekonomi ekslusif indonesia/ZEEI), namun pengembangan
penangkapan ikan saat ini masih terkonsentrasi di Laut Jawa dan Selat
Sunda. Disisi lain, dalam Rencana Tata Ruang Kelautan Nasional (RTRKN,
DKP 2003) pengembangan penangkapan ikan di Laut Jawa sudah harus
dibatasi terkait dengan kecenderungan over fishing. Potensi sumberdaya
perikanan tangkap laut sendiri masih berpeluang besar untuk
dikembangkan, hal ini setidaknya tercermin dari produksi tahun 2005 yang
sebesar 58.753,11 Ton baru memanfaatkan 76,98% dari potensi lestari di
wilayah perairan Kab. Pandeglang (92.971 Ton), sehingga belum
memperhitungkan potensi lestari wilayah perairan lainnya.
Produktivitas
usaha perikanan budidaya masih perlu ditingkatkan, antara lain
tercermin dari kondisi pada tahun 2005 dimana produktivitas budidaya
tambak baru mencapai 0,87 Ton/Ha dan budidaya ikan di sawah mencapai
0,72 Ton/Ha. Disamping itu produksi budidaya laut baru berkontribusi
12,91% terhadap produksi perikanan budidaya atau 3,74% terhadap produksi
perikanan keseluruhan. Potensi sumber daya perikanan budidaya juga
masih berpeluang besar untuk dikembangkan, seperti budidaya laut (KJA
dan rumput laut) di pantai utara dan pantai barat, lahan tambak hingga
tahun 2005 baru dimanfaatkan sekitar 79,7 % (10..970,70 Ha) dari potensi
13.768,9 Ha, lahan sawah yang dimanfaatkan untuk budidaya perikanan
baru sekitar 6,18% (5.209,22 Ha) dari 84.315,40 Ha, ketersediaan lahan
yang masih memadai untuk pengembangan kolam budidaya ikan yang baru
memanfatkan 1.280,76 Ha, serta keberadaan perairan umum (sungai, waduk,
situ) untuk pengembangan budidaya keramba.
Berdasarkan
jumlahnya, armada perikanan tangkap mengalami penurunan dari 5.129 unit
(tahun 2002) menjadi 4.804 unit hingga tahun 2005. Dalam usaha
penangkapan ikan hingga tahun 2004 didominasi oleh penggunaan armada
Perahu Motor Tempel (65,24%) dan Kapal Motor hingga 20 GT (23,36%), hal
ini menunjukkan kapasitas usaha penangkapan ikan masih rendah dan
berorientasi pada wilayah perairan pantai (hingga 12 Mil). Di samping
itu, dengan melihat zona penangkapan ikan yang dapat dimanfaatkan
(perairan pantai hingga ZEEI), belum didukung dengan keberadaan
pelabuhan perikanan yang memiliki kapasitas pelayanan yang setara dengan
potensi wilayah perairan.
Bila mengacu pada
standar konsumsi ikan per kapita (FAO), jumlah produksi ikan di Provinsi
Banten belum mampu memenuhi kebutuhan lokal terhadap pangan yang
berasal dari protein ikan, dimana dengan jumlah produksi sebesar
86.531,14 Ton (2005) dan jumlah penduduk 9.083.144 Jiwa hanya mencapai
9,2 Kg/Kapita/Tahun (32,82%) dari yang sekurangnya 29 Kg/Kapita/Tahun.
Meskipun belum terpenuhinya kebutuhan lokal, produk perikanan Provinsi
Banten sudah merambah pasar luar negeri meskipun masih terbatas, dimana
komoditi Udang Beku pada tahun 2003 di-eksport melalui 3 perusahaan cold
storage dengan kapasitas produksi 280 Ton/Tahun dan dengan negara
tujuan Jepang dan USA.
Dengan memperkirakan
nilai PDRB ADHB Sub Sektor Perikanan hingga tahun 2004 yang sebesar Rp.
495,52 Milyar, serta jumlah Masyarakat Perikanan yang sebesar 158.673
jiwa, maka pendapatan per kapita masyarakat perikanan hingga tahun 2005
masih dalam tingkat yang memprihatinkan, yaitu hanya berkisar Rp.
3.122.930/tahun atau Rp. 260.244/bulan. Selanjutnya, sebagian besar
kelompok masyarakat ini termasuk golongan miskin dengan pola usaha yang
masih tradisional dan bersifat subsisten. Minimnya akses terhadap
informasi dan sumber permodalan, menyebabkan masyarakat petani/nelayan
tidak dapat mengembangkan usahanya secara layak ekonomi. Bahkan, dalam
tahun-tahun terakhir kenaikan BBM yang menaikkan ongkos produksi telah
mengurangi intensitas nelayan untuk melaut.
H. Pariwisata
Daya
tarik kepariwisataan tersebut secara garis besar diklasifikan dalam
wisata alam, wisata sejarah dan budaya, wisata buatan (binaan), serta
kehidupan masyarakat tradisional (living culture). Hingga saat ini telah
diidentifikasi keberadaan 241 obyek wisata yang terdiri dari obyek
wisata kategori alam (60 obyek) dan obyek wisata kategori buatan (181
obyek). Secara kewilayahan, pola pengembangan pariwisata Provinsi Banten
terdiri dari Kawasan Wisata Pantai Barat, Kawasan Wisata Ziarah,
Kawasan Wisata Pantai Selatan dan Kawasan Wisata Taman Nasional Ujung
Kulon (TNUK). Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi
Banten (Diparsenibud 2004) telah ditetapkan 18 kawasan pengembangan
pariwisata yang tersebar di seluruh kabupaten/kota berdasarkan hasil
pengelompokan (clustering) obyek-obyek wisata yang ada.
Dari
18 kawasan pengembangan pariwisata yang ditetapkan tersebut, sebagian
telah bertumbuhkembang menjadi obyek wisata nasional maupun
internasional, seperti Kawasan Pantai Anyer-Carita-Tanjung Lesung,
Living Culture Baduy, dan TNUK. Namun bertumbuhkembangnya kawasan wisata
secara umum masih terkonsentrasi pada wilayah utara dan barat Provinsi
Banten. Sedangkan kawasan-kawasan pengembangan wisata di wilayah selatan
belum bertumbuhkembang terutama disebabkan oleh keterbatasan
infrastruktur (transportasi dan akomodasi wisata). Meskipun kinerja
pariwisata daerah melalui indikator laju pertumbuhan tamu nusantara dan
tamu mancanegara pada hotel bintang dan non bintang mengalami
peningkatan dalam kurun waktu 2002-2004 masing-masing 40,84% dan 40,25%
per tahun, namun rata-rata lama menginap tamu mancanagera menunjukkan
kecenderungan stagnan, yaitu dari 4,96 hari (2002), 4,99 hari (2003) dan
4,12 hari (2004) dan 2,98 hari (2005). Disamping itu, proporsi
kunjungan tamu nusantara dan mancanegara pada hotel bintang dan non
bintang di wilayah selatan (Kabupaten Pandeglang dan Lebak) hingga tahun
2005 masing-masing hanya sebesar 23,84% dan 11,47%.
Sumber : Dokumen RPJM Prov. Banten Tahun 2007 - 2012